MAKALAH
AKHLAK
TASAWUF
AKHLAK
ISLAMI DALAM KAITANNYA
DENGAN
STATUS PRIBADI
Disusun oleh: Dewi Lestari ( 11523157 )
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kita mengetahui bahwa dalam era globalisasi ini banyak pemuda-pemudi yang
sudah kehilangan akhlakul karimahnya, sehingga perlu pemahaman dan pembelajaran
untuk mengkaji akhlak dan tasawuf. Dimana yang menjadi pokok pembahasan adalah
akhlak sebagai pribadi diri sendiri. Karena bertolak dari sinilah sebuah
pribadi dapat dinilai berhasil menjadi sosok yang mulia dipandang dari manapun
atau terjadi ketimpangan-ketimpangan yang masih perlu dibenahi.
Dalam praktisnya, yang menjadi ruang lingkup pembahasan ini adalah sumber
dan ciri-ciri akhlak Islami, bagaimana pribadi sebagai Hamba Allah SWT yang
baik, bagaimana pribadi menjadi seorang anak, bagaimana sikap yang seharusnya
dan semestinya kita lakukan pada orangtua, bagaimana sikap yang seharusnya kita
lakukan sebagai da’i atau mubaligh, bagaimana sikap yang harus dimiliki seorang
pemimpin, serta sikap yang harus kita miliki ketika bersinggungan dengan
Masyarakat. Bila semua aspek atau unsur-unsur akhlak sebagai status
pribadi dimiliki oleh suatu individu, maka harus sering diterapkan, agar
menjadi suatu kebiasaan,yang merupakan salah satu filosofi dari definisi akhlak
itu sendiri, karena tanpa ada pembiasaan, meskipun kita memiliki sifat mulia
yang kental dalam diri kita, kita tidak akan mencapai pribadi yang seimbang.
Akhlak Islami itu sendiri memiliki ciri-ciri yang harus kita pahami. Sebelum
kita melakukan suatu perbuatan, kita harus terlebih dulu mengidentifikasi
bentuk perbuatan itu dan nilai apa yang terkandung di dalamnya.Nilai dapat
berupa benar dan salah. ”Benar” berhubungan dengan segala sesuatu yang sifatnya
baik. Sedangkan “salah” berhubungan dengan segala sesuatu yang sifatnya buruk. Dengan
mampu membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang
salah, maka jelaslah arah suatu perbuatan. Jika kita tidak terlebih dulu
mengkaji suatu perbuatan, bagaimana kita akan mengambil manfaat dari tindakan
tersebut. Kejelasan tentang benar dan salahnya suatu perbuatan akan membawa
kita pada suatu pemahaman konsep akhlak Islami yang benar. Baik buruk dan benar
salah itu cakupannya sangat luas. Baik buruk disini harus disesuaikan dengan
sumber akhlak Islami yaitu Al-Quran dan Al Hadist. Kebenaran dan kesalahan
menurut Islam itu bagaimana, baik buruk menurut Islam itu yang seperti apa, semuanya
akan terjawab ketika kita merujuk pada kedua pedoman tersebut ketika memahami
suatu tingkah laku. Maka dari itu, makalah ini akan membahas konsep-konsep yang
berkaitan dengan ruang lingkup pembahasan
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
sumber dan ciri-ciri akhlak Islami?
2. Bagaimana
pribadi sebagai hamba Allah dalam kaitannya dengan akhlak Islami?
3. Bagaimana
pribadi sebagai anak dalam kaitannya dengan akhlak Islami?
4. Bagaimana
akhlak terhadap orang tua dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status
pribadi?
5. Bagaimana
akhlak terhadap anggota masyarakat dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam
status pribadi?
6. Bagaimana
akhlak da’i/mubaligh dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi?
7. Bagaimana
akhlak pemimpin dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui sumber dan ciri-ciri akhlak Islami.
2. Untuk
mengetahui pribadi sebagai hamba Allah dalam kaitannya dengan akhlak Islami.
3. Untuk
mengetahui pribadi sebagai anak dalam kaitannya dengan akhlak Islami.
4. Untuk
mengetahui akhlak terhadap orang tua dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam
status pribadi.
5. Untuk
mengetahui akhlak terhadap anggota masyarakat dalam kaitannya dengan akhlak
Islami dalam status pribadi.
6. Untuk
mengetahui akhlak da’i/mubaligh dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam
status pribadi.
7. Untuk
mengetahui akhlak
pemimpin dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber dan Ciri-ciri Akhlak Islami
Kata
“Akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dariخُلُق
yang
menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata
tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun خَلْقٌ yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya
dengan khaliqخَالِقٌ yang berarti
pencipta; demikian pula dengan makhluqun مَخْلُوْقٌ yang
berarti yang menciptakan. Kata Islam sendiri yang berada di belakang
kata akhlak dalam hal menempati sebagai sifat. Dengan demikian, akhlak islami
adalah perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan yang didasarkan pada Islam. Secara umum akhlak Islami terbagi atas moral yang berdasarkan
kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan Akhirat , maka tentunya sesuai pula
dengan dasar dari agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber pokok
dari Akhlak Islami adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan sumber utama
dari agama Islam itu sendiri.
Al Qur’an dan Al Hadist adalah sumber yang membahas semua aspek yang ada
dalam kehidupan ini. Rasulullah SAW
bersabda :
عَنْ اَنَسِ بْنِ
ماَلِكٍ قَالَ النَّبُّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ
اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا ماَ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ
وَرَسُوْلِهِ
”Dari Annas bin Malik berkata: Nabi saw. Bersabda:
telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang
kepada keduanya maka tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan Rosul-Nya.”
Termasuk tentang kebaikan dan keburukan. Tentu di dalam kebaikan dan
keburukan terkandung cara bagaimana kita harus berperilaku, sehingga dapat
jelaslah mana yang benar dan mana yang salah. Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah
sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dan kepuasan, kesenangan, persesuaian,
dan seterusnya. Begitupula dengan nilai buruk, yang ditandai dengan hal-hal yang
menyengsarakan. kebaikan dan keburukan menurut panilaian ahli tasawwuf adalah
terkait dengan kehidupan ukhrowi, jika kebaikan diperoleh di dunia, maka
kebaikan tersebut harus menjadi penyebab untuk memperoleh kebaikan di akhirat.
Dengan kata lain, kebaikan
adalah apa saja yang dapat menenangkan hatimu dan menentramkan jiwamu,
sedangkan keburukan adalah apa saja yang membuatkan hatimu ragu dan tidak
tenang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari sahabat
An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu ,
البر
حسن الخلق , و الإثم ما حاك في نفسك و كرهت أن يطلع عليه الناس
Artinya : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa
saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang
lain.” (HR. Muslim).
Rasulullah SAW juga bersabda :
عَنِ
النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانِ اْلأََنْصَارِيِّ ، قَالَ : سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّٰـهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ وَاْلإِثْمِ ، فَقَالَ :
اَلْبِرُّ حُسْنُ الْـخُلُقِ ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ
أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ) وَعَنْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ :
قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَخْبِرْنِـيْ بِمَـا يَـحِلُّ لِـيْ وَ يَـحْرُمُ
عَلَيَّ ؟ قَالَ : فَصَعَّدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَصَوَّبَ فِيَّ النَّظَرَ ، فَقَالَ : اَلْبِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ
وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاْلإِثْمُ مَا لَـمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ
النَّفْسُ وَلاَ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ
الْـمُفْتُوْنَ
Artinya
: “Dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku bertanya
kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebajikan dan dosa,
maka beliau menjawab, “Kebajikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa
yang membuat bimbang (ragu) hatimu dan engkau tidak suka dilihat (diketahui)
oleh manusia.” (HR. Muslim)
Adapun ciri-ciri akhlak
Islami adalah sebagai berikut :
1.
Kebajikan yang mutlak
Islam menjamin kebajikan mutlak.
Karena Islam telah menciptakan akhlak yang luhur. Ia menjamin kebaikan yang
murni baik untuk perorangan atau masyarakat pada setiap keadaan, dan waktu
bagaimanapun. Sebaliknya akhlak yang diciptakan manusia, tidak dapat menjamin
kebaikan dan hanya mementingkan diri sendiri.
2.
Kebaikan yang menyeluruh
Akhlak islami menjamin kebaikan untuk seluruh
manusia. Baik segala zaman, semua
tempat, mudah tidak mengandung kesulitan dan tidak mengandung perintah berat
yang tidak dikerjakan oleh umat manusia di luar kemampuannya. Islam menciptakan akhlak yang mulia, sehingga dapat dirasakan
sesuai dengan jiwa manusia dan dapat diterima akal yang sehat.
3.
Kemantapan
Akhlak Islami menjamin kebaikan yang mutlak
dan sesuai pada diri manusia. Ia bersifat tetap, langgeng dan mantap, sebab
yang menciptakan Tuhan yang bijaksana, yang selalu memeliharanya dengan kebaikan yang
mutlak. Akan tetapi akhlak/etika ciptaan manusia bersifat berubah-rubah dan
tidak selalu sama sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam satu zaman atau satu bangsa. Sebagai
contoh aliran materialism, sosialism, dan lain
sebagainya.
4.
Kewajiban yang dipatuhi
Akhlak yang bersumber
dari agama Islam wajib ditaati manusia sebab ia mempunyai daya kekuatan yang
tinggi menguasai lahir batin dan dalam keadaan suka dan duka, juga tunduk pada
kekuasaan rohani yang dapat mendorong untuk tetap berpegang kepadanya. Juga sebagai perangsang untuk
berbuat kebaikan yang diiringi dengan pahala dan mencegah perbuatan jahat,
karena takut akan siksaan
Allah SWT.
B.
Pribadi sebagai Hamba Allah
Makna yang esensial dari
kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan hanya layak diberikan kepada Allah, yang dicerminkan
dalam ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.
Sebagai hamba, tugas
utama manusia adalah mengabdi (beribadah) kepada Sang Khaliq; menaati
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Hubungan manusia dengan Allah SWT bagaikan
hubungan seorang hamba (budak) dengan tuannya. Si hamba harus senantiasa patuh,
tunduk, dan taat atas segala perintah tuannya. Demikianlah, karena posisinya
sebagai ‘abid, kewajiban manusia di bumi ini adalah beribadah kepada Allah
dengan ikhlas sepenuh hati . Allah SWT berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ(5)
Artinya “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Q.S. Al Bayyinah: 5)
Allah
SWT juga berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ
رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Rabb yang berhak disembah selain Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiya’: 25)
C.
Pribadi sebagai Anak
Beberapa akhlak mahmudah
seperti bersikap setia, jujur, adil, pemaaf, disenangi, menepati janji,
memelihara diri, malu, berani, kuat, sabar, kasih sayang, murah hati, tolong
menolong, damai, persaudaraan, menyambung tali persaudaraan, menghoranati tamu,
merendahkan diri, berbuat baik, menundukkan diri, berbudi tinggi, memlihara
kebersihan badan, cenderung kepada kebaikan, merasa cukup dengan apa yang ada,
tenang, lemah lembut, bermuka manis, kebaikan, menahan diri dari berlaku
maksiat, merendahkan diri kepada Allah, berjiwa kuat dan lain sebagainya perlu
ditanamkan pada diri anak sejak kecil. Meskipun dimulai dari dasar-dasarnya
dahulu.
Sedangkan yang termasuk dalam akhlak mazmumah, antara lain; egoistis, lacur, kikir, dusta, peminum khamr, khianat, aniaya, pengecut, aniaya, dosa besar, pemarah, curang, culas, mengumpat, adu domba, menipu, memperdaya, dengki, sombong, mengingkari nikmat, homosex, ingin dipuji, ingin didengar kelebihannya, makan riba, berolok-olok, mencuri, mengikuti hawa nafsu, boros, tergopoh-gopoh, membunuh, penipuan, dusta, berlebih-lebihan, berbuat kerusakan, dendam, merasa tidak perlu pada yang lain dan lain sebagainya yang menunjukkan sifat-sifat yang tercela. Akhlak seperti ini merupakan contoh akhlak secara keseluruhan yang harus kita hindari. Semuanya diawali dari proses mendidik anak sejak kecil.
Sedangkan yang termasuk dalam akhlak mazmumah, antara lain; egoistis, lacur, kikir, dusta, peminum khamr, khianat, aniaya, pengecut, aniaya, dosa besar, pemarah, curang, culas, mengumpat, adu domba, menipu, memperdaya, dengki, sombong, mengingkari nikmat, homosex, ingin dipuji, ingin didengar kelebihannya, makan riba, berolok-olok, mencuri, mengikuti hawa nafsu, boros, tergopoh-gopoh, membunuh, penipuan, dusta, berlebih-lebihan, berbuat kerusakan, dendam, merasa tidak perlu pada yang lain dan lain sebagainya yang menunjukkan sifat-sifat yang tercela. Akhlak seperti ini merupakan contoh akhlak secara keseluruhan yang harus kita hindari. Semuanya diawali dari proses mendidik anak sejak kecil.
Maka model mendidik akhlak anak, tidak langsung
berkata itu baik, atau itu buruk, apabila seorang anak baru saja belajar
membaca, menurut kita itu jelek/buruk namun kita tidak seharusnya berkata
demikian. Sebab dapat
menyakiti hati dan patah semangat. Tetapi kita beri semangat dan dorongan yang
dapat memacu dan bergiatnya si anak. Selain daripada itu, kisah luqman yang diberi hikmah oleh Allah. Hal ini
dijelaskan di dalam surat Luqman: 12:
وَلَقَدْ اَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرُ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ {لقمان:12
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji”.(QS.Luqman:12)
Selain
itu, ada beberapa perkara yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang
pribadi kita sebagai anak kepada kedua orangtua kita, seperti :
1.
Berbuat baik kepada
orangtua, walaupun keduanya dzalim.
2.
Berkata
halus dan mulia kepada orangtua.
3.
Mendoakan
orangtua yang telah tiada itu dan memintakan ampun kepada Allah dari segala
dosa orang tua kita.
4.
Bersilaturrahmi kepada
orang-orang yang mempunyai hubungan dengan kedua orang tua.
D. Akhlak
pada Ayah dan Ibu
Akhlak bukan hanya sekedar
sopan santun, tata krama yang bersifat lahiriyah dari seseorang terhadap orang
lain, melainkan lebih dari itu. Jadi akhlak itu harus kita tanamkan pada diri
kita terutama terhadap ayah dan ibu, kalau kepada orang lain saja kita hormat,
seharusnya pada orangtua kita harus lebih lagi. Betapa berat tanggungan seorang
ayah, terlebih lagi seorang ibu dikala mengandung dan demikian pula kalau sudah
datang waktunya melahirkan. Dengan mengerahkan seluruh perhatian,
jiwa raga dan tenaga si ibu melahirkan bayinya dengan harap-harap cemas. Berharap agar si bayi yang dilahirkannya
sehat dan sempurna keadaannya sebagai manusia sempurna anggota badannya,
seperti susunan jasmaninya dan tumbuh dalam keadaan yang wajar baik jasmani
maupun rohaninya. Cemas kalau-kalau bayinya tidak normal baik jasmani dan
rohaninya atau ada gangguan-ganguan yang tidak diinginkannya. Di samping itu, derita jasmani si ibu menahan dikala melahirkan
bayinya tersebut. Setelah bayinya lahir, betapa kasih sayang sang ayah terlebih sang ibu
kepada anaknya, seakan-akan segala yang ada pada si mereka adalah untuk
anaknya. Si ayah rela membanting tulang kerja siang malam untuk mendapatkan
biaya yang hanya untuk demi kelancaran lahirnya bayi itu, jiwa raga dan perhatian,
serta kasih sayang semuanya ditumpahkan untuk si bayi itu, agar si bayi selamat
sentosa dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang baik. Kata yang mengandung doa dan harapan meluncur dicurahkan untuk si bayi, semoga kelak
menjadi manusia yang ideal yang taat terhadap orangtua serta agama.
Beberapa perkara yang harus di perhatikan dan
dilaksanakan oleh seorang anak kepada orangtua yakni:
1.
Berbuat Baik kepada Ibu dan Ayah, walaupun keduanya
dzalim.
Seorang anak menurut
ajaran islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dalam keadaan
bagaimanapun. Artinya jangan sampai seorang anak sampai menyinggung perasaan
orang tuanya, walaupun seandainya orang tuanya berbuat dzalim kepada anaknya,
dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan sekali-kali si anak berbuat
tidak baik, atau membalas atau mengimbangi ketidakbaikan orang tua kepada
anaknya. Allah tidak meridhoinya sehingga orang tua itu meridhoinya. Rasulullah
SAW bersabda : “Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu
bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridhoan Allah tergantung
kepada keridhoan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan
orang tua.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan
Hakim).
2.
Berkata Halus dan Mulia kepada Ibu dan Ayah
Kewajiban anak kepada orang tuanya berbicara
menurut ajaran islam harus berbicara sopan, lemah lembut dan mempergunakan
kata-kata mulia. Allah SWT berfirman :
وَقَضَى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْا اَلَّا اِيَّاهُ وَبِالْوَلِدَيْنِ اِحْسَانَا اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكَبِرَ اَحَدُهُمَا اَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا اُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذَّلِّ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا {الاسراء: 23-24}
Artinya:
“Dan Tuhan telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain kepada-Nya dan hendaknya kamu berbuat baik kepada ibu bapak kamu dengan seabaik-baiknya. Jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya samapi berumur lanjut dalam pemeliharaan kamu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan dan ucapakan doa:”Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka kedua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra: 23-24).
“Dan Tuhan telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain kepada-Nya dan hendaknya kamu berbuat baik kepada ibu bapak kamu dengan seabaik-baiknya. Jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya samapi berumur lanjut dalam pemeliharaan kamu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan dan ucapakan doa:”Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka kedua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra: 23-24).
Dari ayat tersebut, dapat di tarik kesimpulan
bahwa sewajarnya seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tua baik
berbicara dan yang lain- lain. Dengan cara tidak menyinggung perasaan orang tua
dan tidak berkata kasar kepada mereka.
Berbuat baik kepada Ibu
dan atau Ayah yang sudah meninggal dunia
Apabila ibu dan ayah masih hidup, si anak berkewajiban berbuat baik, dan itu mudah dilakukan dengan berbagai macam cara, baik yang bersifat moaral, maupun yang bersifat material. Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ayah dan atau ibunya yang sudah tiada. Dalam hal ini agama islam mengajarkan supaya seorang anak :
Apabila ibu dan ayah masih hidup, si anak berkewajiban berbuat baik, dan itu mudah dilakukan dengan berbagai macam cara, baik yang bersifat moaral, maupun yang bersifat material. Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ayah dan atau ibunya yang sudah tiada. Dalam hal ini agama islam mengajarkan supaya seorang anak :
a. Mendoakan ayah
ibu yang telah tiada itu dan memintakan ampun kepada Allah dari segala dosa
orang tua kita. Doa yang sering di amalkan yakni:
اللَّهُمَّ اغْفِرْلىِ وَلِوَالِدَىَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرً
اللَّهُمَّ اغْفِرْلىِ وَلِوَالِدَىَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرً
b. Menepati
janji kedua ibu dan atau ayah. Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji
kepada seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji
tersebut. Umpamanya beliau akan naik haji, yang belum sampai melaksanakannya.
Maka kewajiban anaknya untuk menunaikan haji untuk orang tuanya tersebut. Dan hal ini diperbolehkan menurut
hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas :
اَنَّ امرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ اِلَى النَّبِى صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمِ فَقَالَتْ : اِنَّ اُمِّى نَذَرْتْ اِنَّ تَحَجَّ فَلَمْ تَحَجَّ حَتىَّ مَا تَتْ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا؟ قَالَ : نَعَمْ , حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوكَانَ عَلَى اُمِّكَ دَيْنٌ اَكَنْتِ قَا ضِيَهُ ؟ اُقْضُوا اللهَ فاللهُ اَحَقَّ بِالْوَفَاءِ
{رواه البخارى}
Artinya:
“Bahwa seorang perempuan dari Juhainah dating kepada Nabi Saw, ia bertanya kepada Rasullah: Bahwasannya ibu saya telah bernazar untuk berhaji, tapi ia tidak haji sampai meninggal dunia. Apakah boleh saya menghajikannya? Jawab Rasullah: ”ya, hajikanlah! Apakah kau tahu, kalau seandainya ibu mempunyai hutang, apakah engkau membayarkannya? Bayarkan (tepatilah) kepada Allah, sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditepati!”
“Bahwa seorang perempuan dari Juhainah dating kepada Nabi Saw, ia bertanya kepada Rasullah: Bahwasannya ibu saya telah bernazar untuk berhaji, tapi ia tidak haji sampai meninggal dunia. Apakah boleh saya menghajikannya? Jawab Rasullah: ”ya, hajikanlah! Apakah kau tahu, kalau seandainya ibu mempunyai hutang, apakah engkau membayarkannya? Bayarkan (tepatilah) kepada Allah, sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditepati!”
c.
Memuliakan teman-teman kedua orang tua.
Di waktu hidupnya ibu dan ayah, beliau-beliau
mempunyai teman-teman akrab.
d.
Bersilaturrahmi kepada orang-orang yang mempunyai
hubungan dengan kedua orang tua.
E. Akhlak
kepada Anggota Masyarakat
Akhlak mulia merupakan
akhlak yang berlaku dan berlangsung di atas jalur Al-Qur’an dan perbuatan nabi
Muhammad SAW dalam sikap dan perbuatan. Seperti yang dikatakan di dalam
Al-Qur’an surat Qalam ayat 4 ”Dan sesungguhnya engkau Muhammad mempunyai
akhlak yang mulia”.
Dengan demikian setiap
muslim diwajibkan untuk memelihara norma-norma (agama) di masyarakat terutama
di dalam pergaulan sehari-hari baik keluarga rumah tangga, kerabat, tetangga
dan lingkungan kemasyarakatan. Terutama dalam masyarakat kita dapat
membiasakannya. Tolong-menolong untuk kebaikan dan takwa kepada Allah adalah perintah
Allah, yang dapat ditarik hukum wajib kepada setiap kaum muslimin dengan cara
yang sesuai dengan keadaan objek orang bersangkutan, Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surat Al-Maidah, ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّى وَالتَّقوَى وَلَاتَعَاوَنُوْا عَلَى الِاثْمِ وَالعُدْوَانِ {المائدة:2}
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kalian dalam
(mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran/permusuhan”. (QS. Al-Ma’idah : 2)
F. Akhlak
Da’i/Mubaligh/Guru/Hakim
Telah jelas ujian bagi penyebar agama islam yang
paling hebat adalah para nabi. Kemudian orang-orang saleh, para Da’i/mubaligh
yang mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah dan ikhlas dalam
beribadah. Dalam mempersiapkan diri yang
telah mengikrarkan untuk berjalan mengikuti manhaj para nabi dalam dakwah, maka
para da’i harus membekali diri dengan akhlakul karimah. Sebab Da’i/mubaligh di
masyarakat menjadi suri tauladan secara langsung, baik perilaku, sikap, perbuatan
maupun perkataannya. Agar dakwah yang disampaikan dapat
diterima oleh manusia hendaknya seorang da’i memperhatikan sifat dan akhlak
yang ia miliki. Allah dan RasulNya telah menjelaskan sifat-sifat yang hendaknya
dimiliki oleh seorang da’i, diantaranya :
1.
Ikhlas.
Hendaknya seorang da’i mengikhlaskan dakwahnya
karena Allah semata bukan karena riya’, atau mengharap pujian manusia atau yang
lainnya. Selain itu hendaknya juga diniatkan untuk
mengharap wajah Allah semata.
2.
Berbekal Bashirah(ilmu)
Berilmu, ini juga tidak kalah pentingnya yang
harus dimiliki seorang da’i. Dua hal ini adalah syarat utama yang harus
dimiliki seorang da’i sebagaimana firmanNya,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ
وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Artinya :
“Katakanlah : “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata .(QS. Yusuf:108)
3. Hati-hati dan Lemah-Lembut dalam
Berdakwah
Tidak diragukan lagi lemah –lembut
adalah salah satu faktor diterimanya dakwah. Sebagaimana telah dicontohkan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Allah berfirman :
4.
فَبِمَا رَحْمَةٍ
مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ
مِنْ حَوْلِكَ
Artinya : “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu” (QS. Ali ‘Imran: 159)
4. Mengamalkan
Apa yang Didakwahkan
Hendaknya
seorang da’i mengamalkan apa yang ia dakwahkan dan menjadi teladan didalamnya.
Jangan sampai ia sibuk mendakwahi manusia sedang ia lalai terhadap dirinya
sendiri. Allah berfirman,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Artinya
: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka
tidaklah kamu berpikir?” (Al-Baqarah:44)
Sedangkan hakim, hakim adalah
orang yang diangkat oleh pemerintah dan diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara
hukum yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut Syekh Kholil
pengikut mazhab Maliki, seoarang hakim harus memenuhi beberap syarat. Yaitu:
adil, laki-laki, berakal, seoarang mujtahid, atau muqallid. Dalam memutuskan
sebuah perkara seoarang hakim (qadli) tidak boleh dalam keadaan marah, karena
bisa saja dia akan memutuskannya tidak sesuai dengan hukum islam, melainkan dia
akan mengedepankan emosinya belaka. Rasulullah SAW bersabda
: “Hakim-hakim itu ada
tiga golongan, dua golongan di neraka dan satu golongan di surga: Orang yang mengetahui yang benar
lalu memutus dengannya, maka dia di surga. Orang yang
memberikan keputusan kepada orang-orang atas kebodohan, maka dia itu di neraka
dan orang yang mengetahui yang benar lalu dia menyeleweng dalam memberi keputusan, maka dia
di neraka.” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Maajah, dan Hakim)
Dalam hadis di atas kita dapat mengambil pengetahuan bahwa hakim (qadli) dibagi
menjadi tiga golongan:
1. Seoarang hakim
yang mengerti kebenaran yang diajarkan oleh syari’at islam, dan memutuskan
sesuai dengan pengetahuan dan kebenaran tersebut, maka seorang hakim tersebut
termasuk orang yang akan selamat dan masuk surga.
2. Seorang hakim
yang telah memnuhi kriteria sebagai
hakim, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam sebuah keputusan yang ia hadapi,
maka golongan ini termasuk hakim yang tidak edial dan masuk neraka.
3. Seorang hakim
yang tidak memnuhi criteria sebagai hakim dan tidak mengetahui kebenaran islam,
dan dia memutuskan suatu perkara berdasarkan kebodohan tersebut.
G. Akhlak
Pemimpin
Kegiatan seorang pemimpin
dalam kaca mata Islam memiliki kode etik yang bisa memelihara kejernihan aturan
Ilahi, jauh dari sikap diktator, serakah dan egoisme, sehingga membuat
lembaga/organisasi yang dipimpinnya sebagai tempat membentuk masyarakat yang
saling mengasihi satu kepada yang lain. Dasarnya adalah hal yang menjadi
keyakinan seorang pemimpin muslim itu sendiri, yakni bahwa jabatan itu pada
dasarnya adalah milik Allah. Manusia seluruhnya hanya
bertugas mengendalikannya. Orang yang bertugas mengendalikan tentu tidak berhak
keluar dari aturan dan tujuan pemilik jabatan.
Kalau pemimpin tidak
mempunyai keyakinan bahwa jabatan itu adalah amanah dari Allah, maka ia kehilangan
posisinya sebagai pengendali jabatan. Karunia itu bisa
berpindah dari dirinya kepada orang yang lebih pantas melakukan tugas tersebut
dan lebih mampu menjaga amanah jabatan tersebut. Dalam Islam sudah ada
aturan-aturan yang berkaitan tentang akhlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
yang baik, beberapa diantaranya :
1. Beriman dan Beramal Shaleh
2. Amanah
3. Niat yang Lurus
4. Laki-Laki
5. Tidak Meminta Jabatan
6. Berpegang pada Hukum Allah dan Tegas
7. Memutuskan Perkara Dengan Adil
8. Menasehati rakyat dan Lemah Lembut
9. Tidak Menerima Hadiah
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas,
dapat diambil kesimpulan :
1. Akhlak
islami adalah perbuatan yang dilakukan yang didasarkan pada Islam.
2. Al
Qur’an dan Al Hadist adalah sumber akhlak Islami yang membahas semua aspek yang
ada dalam kehidupan ini.
3.
Sebagai hamba Allah SWT, tugas utama manusia
adalah mengabdi (beribadah) kepada Sang Khaliq, mentaati perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.
4.
Ada
beberapa perkara yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang pribadi
kita sebagai anak kepada kedua orangtua kita, seperti : berbuat baik kepada
orangtua, walaupun keduanya dzalim, berkata halus dan mulia kepada orangtua, mendoakan
orangtua yang telah tiada dan memintakan ampun kepada Allah dari segala dosa
orang tua kita, bersilaturrahmi kepada orang-orang yang mempunyai hubungan
dengan kedua orang tua, dan sebagainya.
5.
Beberapa perkara yang harus di perhatikan dan
dilaksanakan oleh seorang anak kepada orangtua, diantaranya adalah : berbuat baik
kepada Ibu dan Ayah, walaupun keduanya dzalim, berkata halus dan mulia kepada
Ibu dan Ayah, mendengarkan nasehatnya, dan sebagainya.
6.
Setiap muslim diwajibkan untuk memelihara
norma-norma (agama) di masyarakat terutama di dalam pergaulan sehari-hari baik
keluarga rumah tangga, kerabat, tetangga dan lingkungan kemasyarakatan.
7.
Dalam
mempersiapkan diri yang telah mengikrarkan untuk berjalan mengikuti manhaj para
nabi dalam dakwah, maka para da’i harus membekali diri dengan akhlakul karimah,
sebab da’i/mubaligh di masyarakat menjadi suri tauladan secara langsung, baik
perilaku, sikap, perbuatan maupun perkataannya.
8.
Menurut Syekh Kholil pengikut mazhab Maliki,
seoarang hakim harus memenuhi beberap syarat, yaitu: adil, laki-laki, berakal,
seoarang mujtahid, atau muqallid.
9. Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang
berkaitan tentang pemimpin yang baik,
beberapa diantaranya adalah : beriman dan beramal shaleh, amanah, niat yang lurus, laki-laki, meminta jabatan, berpegang pada hukum
allah, memutuskan
perkara dengan adil, menasehati rakyat, tidak menerima hadiah, tegas, lemah lembut.
B. Saran
Setelah mengetahui aspek atau unsur-unsur akhlak sebagai status
pribadi yang dimiliki oleh suatu individu, yaitu Sumber dan ciri-ciri
akhlak Islami, pribadi sebagai Hamba Allah SWT yang baik, pribadi menjadi
seorang anak, sikap yang seharusnya dan semestinya kita lakukan pada orangtua,
sikap yang seharusnya kita lakukan sebagai da’i atau mubaligh, bagaimana sikap
yang harus dimiliki seorang pemimpin, serta sikap yang harus kita miliki ketika
bersinggungan dengan Masyarakat, maka disarankan kepada para pembaca agar
akhlak-akhlak atau sikap-sikap kita sebagai pemilik status pribadi tersebut
sering diterapkan, agar menjadi suatu kebiasaan, yang merupakan salah satu
filosofi dari definisi akhlak itu sendiri, karena tanpa ada pembiasaan,
meskipun kita memiliki sifat mulia yang kental dalam diri kita, kita tidak akan
mencapai pribadi yang seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar