Rabu, 30 Desember 2015

AHKLAK TASAWUF, AHKLAK ISLAMI DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS PRIBADI

MAKALAH
AKHLAK TASAWUF

AKHLAK ISLAMI DALAM KAITANNYA
DENGAN STATUS PRIBADI
Disusun oleh: Dewi Lestari ( 11523157 )

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kita mengetahui bahwa dalam era globalisasi ini banyak pemuda-pemudi yang sudah kehilangan akhlakul karimahnya, sehingga perlu pemahaman dan pembelajaran untuk mengkaji akhlak dan tasawuf. Dimana yang menjadi pokok pembahasan adalah akhlak sebagai pribadi diri sendiri. Karena bertolak dari sinilah sebuah pribadi dapat dinilai berhasil menjadi sosok yang mulia dipandang dari manapun atau terjadi ketimpangan-ketimpangan yang masih perlu dibenahi.
Dalam praktisnya, yang menjadi ruang lingkup pembahasan ini adalah sumber dan ciri-ciri akhlak Islami, bagaimana pribadi sebagai Hamba Allah SWT yang baik, bagaimana pribadi menjadi seorang anak, bagaimana sikap yang seharusnya dan semestinya kita lakukan pada orangtua, bagaimana sikap yang seharusnya kita lakukan sebagai da’i atau mubaligh, bagaimana sikap yang harus dimiliki seorang pemimpin, serta sikap yang harus kita miliki ketika bersinggungan dengan Masyarakat. Bila semua aspek atau unsur-unsur akhlak sebagai status pribadi  dimiliki oleh suatu individu, maka harus sering diterapkan, agar menjadi suatu kebiasaan,yang merupakan salah satu filosofi dari definisi akhlak itu sendiri, karena tanpa ada pembiasaan, meskipun kita memiliki sifat mulia yang kental dalam diri kita, kita tidak akan mencapai pribadi yang seimbang.
Akhlak Islami itu sendiri memiliki ciri-ciri yang harus kita pahami. Sebelum kita melakukan suatu perbuatan, kita harus terlebih dulu mengidentifikasi bentuk perbuatan itu dan nilai apa yang terkandung di dalamnya.Nilai dapat berupa benar dan salah. ”Benar” berhubungan dengan segala sesuatu yang sifatnya baik. Sedangkan “salah” berhubungan dengan segala sesuatu yang sifatnya buruk. Dengan mampu membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, maka jelaslah arah suatu perbuatan. Jika kita tidak terlebih dulu mengkaji suatu perbuatan, bagaimana kita akan mengambil manfaat dari tindakan tersebut. Kejelasan tentang benar dan salahnya suatu perbuatan akan membawa kita pada suatu pemahaman konsep akhlak Islami yang benar. Baik buruk dan benar salah itu cakupannya sangat luas. Baik buruk disini harus disesuaikan dengan sumber akhlak Islami yaitu Al-Quran dan Al Hadist. Kebenaran dan kesalahan menurut Islam itu bagaimana, baik buruk menurut Islam itu yang seperti apa, semuanya akan terjawab ketika kita merujuk pada kedua pedoman tersebut ketika memahami suatu tingkah laku. Maka dari itu, makalah ini akan membahas konsep-konsep yang berkaitan dengan ruang lingkup pembahasan
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa sumber dan ciri-ciri akhlak Islami?
2.      Bagaimana pribadi sebagai hamba Allah dalam kaitannya dengan akhlak Islami?
3.      Bagaimana pribadi sebagai anak dalam kaitannya dengan akhlak Islami?
4.      Bagaimana akhlak terhadap orang tua dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi?
5.      Bagaimana akhlak terhadap anggota masyarakat dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi?
6.      Bagaimana akhlak da’i/mubaligh dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi?
7.      Bagaimana akhlak pemimpin dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sumber dan ciri-ciri akhlak Islami.
2.      Untuk mengetahui pribadi sebagai hamba Allah dalam kaitannya dengan akhlak Islami.
3.      Untuk mengetahui pribadi sebagai anak dalam kaitannya dengan akhlak Islami.
4.      Untuk mengetahui akhlak terhadap orang tua dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi.
5.      Untuk mengetahui akhlak terhadap anggota masyarakat dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi.
6.      Untuk mengetahui akhlak da’i/mubaligh dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi.
7.      Untuk mengetahui akhlak pemimpin dalam kaitannya dengan akhlak Islami dalam status pribadi 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sumber dan Ciri-ciri Akhlak Islami
Kata “Akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dariخُلُق  yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun خَلْقٌ yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khaliqخَالِقٌ  yang berarti pencipta; demikian pula dengan makhluqun مَخْلُوْقٌ yang berarti yang menciptakan. Kata Islam sendiri yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati sebagai sifat. Dengan demikian, akhlak islami adalah perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan yang didasarkan pada Islam. Secara umum  akhlak Islami terbagi atas moral yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan Akhirat , maka tentunya sesuai pula dengan dasar dari agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber pokok dari Akhlak Islami adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan sumber utama dari agama Islam itu sendiri.
Al Qur’an dan Al Hadist adalah sumber yang membahas semua aspek yang ada dalam kehidupan ini. Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ اَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ قَالَ النَّبُّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا ماَ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ وَرَسُوْلِهِ
Dari Annas bin Malik berkata: Nabi saw. Bersabda: telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya maka tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan Rosul-Nya.”
Termasuk tentang kebaikan dan keburukan. Tentu di dalam kebaikan dan keburukan terkandung cara bagaimana kita harus berperilaku, sehingga dapat jelaslah mana yang benar dan mana yang salah. Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dan kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya. Begitupula dengan nilai buruk, yang ditandai dengan hal-hal yang menyengsarakan. kebaikan dan keburukan menurut panilaian ahli tasawwuf adalah terkait dengan kehidupan ukhrowi, jika kebaikan diperoleh di dunia, maka kebaikan tersebut harus menjadi penyebab untuk memperoleh kebaikan di akhirat.
Dengan kata lain, kebaikan adalah apa saja yang dapat menenangkan hatimu dan menentramkan jiwamu, sedangkan keburukan adalah apa saja yang membuatkan hatimu ragu dan tidak tenang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari sahabat An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu ,
البر حسن الخلق , و الإثم ما حاك في نفسك و كرهت أن يطلع عليه الناس
Artinya : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. Muslim).
Rasulullah SAW juga bersabda :
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانِ اْلأََنْصَارِيِّ ، قَالَ : سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ وَاْلإِثْمِ ، فَقَالَ : اَلْبِرُّ حُسْنُ الْـخُلُقِ ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ) وَعَنْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَخْبِرْنِـيْ بِمَـا يَـحِلُّ لِـيْ وَ يَـحْرُمُ عَلَيَّ ؟ قَالَ : فَصَعَّدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَوَّبَ فِيَّ النَّظَرَ ، فَقَالَ : اَلْبِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاْلإِثْمُ مَا لَـمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلاَ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ الْـمُفْتُوْنَ

Artinya : “Dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab, “Kebajikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang membuat bimbang (ragu) hatimu dan engkau tidak suka dilihat (diketahui) oleh manusia.” (HR. Muslim)

Adapun ciri-ciri akhlak Islami adalah sebagai berikut :
1.      Kebajikan yang mutlak
Islam menjamin kebajikan mutlak. Karena Islam telah menciptakan akhlak yang luhur. Ia menjamin kebaikan yang murni baik untuk perorangan atau masyarakat pada setiap keadaan, dan waktu bagaimanapun. Sebaliknya akhlak yang diciptakan manusia, tidak dapat menjamin kebaikan dan hanya mementingkan diri sendiri.
2.      Kebaikan yang menyeluruh
Akhlak islami menjamin kebaikan untuk seluruh manusia. Baik segala zaman, semua tempat, mudah tidak mengandung kesulitan dan tidak mengandung perintah berat yang tidak dikerjakan oleh umat manusia di luar kemampuannya. Islam menciptakan akhlak yang mulia, sehingga dapat dirasakan sesuai dengan jiwa manusia dan dapat diterima akal yang sehat.
3.      Kemantapan
Akhlak Islami menjamin kebaikan yang mutlak dan sesuai pada diri manusia. Ia bersifat tetap, langgeng dan mantap, sebab yang menciptakan Tuhan yang bijaksana, yang selalu memeliharanya dengan kebaikan yang mutlak. Akan tetapi akhlak/etika ciptaan manusia bersifat berubah-rubah dan tidak selalu sama sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam satu zaman atau satu bangsa. Sebagai contoh aliran materialism, sosialism, dan lain sebagainya.
4.        Kewajiban yang dipatuhi
Akhlak yang bersumber dari agama Islam wajib ditaati manusia sebab ia mempunyai daya kekuatan yang tinggi menguasai lahir batin dan dalam keadaan suka dan duka, juga tunduk pada kekuasaan rohani yang dapat mendorong untuk tetap berpegang kepadanya. Juga sebagai perangsang untuk berbuat kebaikan yang diiringi dengan pahala dan mencegah perbuatan jahat, karena takut akan siksaan Allah SWT.

B.     Pribadi sebagai Hamba Allah
Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan hanya layak diberikan kepada Allah, yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.
Sebagai hamba, tugas utama manusia adalah mengabdi (beribadah) kepada Sang Khaliq; menaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Hubungan manusia dengan Allah SWT bagaikan hubungan seorang hamba (budak) dengan tuannya. Si hamba harus senantiasa patuh, tunduk, dan taat atas segala perintah tuannya. Demikianlah, karena posisinya sebagai ‘abid, kewajiban manusia di bumi ini adalah beribadah kepada Allah dengan ikhlas sepenuh hati . Allah SWT berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ(5)
Artinya “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Q.S. Al Bayyinah: 5)

Allah SWT juga berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Rabb yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiya’: 25)
C.    Pribadi sebagai Anak
Beberapa akhlak mahmudah seperti bersikap setia, jujur, adil, pemaaf, disenangi, menepati janji, memelihara diri, malu, berani, kuat, sabar, kasih sayang, murah hati, tolong menolong, damai, persaudaraan, menyambung tali persaudaraan, menghoranati tamu, merendahkan diri, berbuat baik, menundukkan diri, berbudi tinggi, memlihara kebersihan badan, cenderung kepada kebaikan, merasa cukup dengan apa yang ada, tenang, lemah lembut, bermuka manis, kebaikan, menahan diri dari berlaku maksiat, merendahkan diri kepada Allah, berjiwa kuat dan lain sebagainya perlu ditanamkan pada diri anak sejak kecil. Meskipun dimulai dari dasar-dasarnya dahulu.
Sedangkan yang termasuk dalam akhlak mazmumah, antara lain; egoistis, lacur, kikir, dusta, peminum khamr, khianat, aniaya, pengecut, aniaya, dosa besar, pemarah, curang, culas, mengumpat, adu domba, menipu, memperdaya, dengki, sombong, mengingkari nikmat, homosex, ingin dipuji, ingin didengar kelebihannya, makan riba, berolok-olok, mencuri, mengikuti hawa nafsu, boros, tergopoh-gopoh, membunuh, penipuan, dusta, berlebih-lebihan, berbuat kerusakan, dendam, merasa tidak perlu pada yang lain dan lain sebagainya yang menunjukkan sifat-sifat yang tercela. Akhlak seperti ini merupakan contoh akhlak secara keseluruhan yang harus kita hindari. Semuanya diawali dari proses mendidik anak sejak kecil.
Maka model mendidik akhlak anak, tidak langsung berkata itu baik, atau itu buruk, apabila seorang anak baru saja belajar membaca, menurut kita itu jelek/buruk namun kita tidak seharusnya berkata demikian. Sebab dapat menyakiti hati dan patah semangat. Tetapi kita beri semangat dan dorongan yang dapat memacu dan bergiatnya si anak. Selain daripada itu, kisah luqman yang diberi hikmah oleh Allah. Hal ini dijelaskan di dalam surat Luqman: 12:

وَلَقَدْ اَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرُ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ {لقمان:12
Artinya:
Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji”.(QS.Luqman:12)
 
Selain itu, ada beberapa perkara yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang pribadi kita sebagai anak kepada kedua orangtua kita, seperti :
1.      Berbuat baik kepada orangtua, walaupun keduanya dzalim.
2.      Berkata halus dan mulia kepada orangtua.
3.      Mendoakan orangtua yang telah tiada itu dan memintakan ampun kepada Allah dari segala dosa orang tua kita.
4.       Bersilaturrahmi kepada orang-orang yang mempunyai hubungan dengan kedua orang tua.

D.    Akhlak pada Ayah dan Ibu
Akhlak bukan hanya sekedar sopan santun, tata krama yang bersifat lahiriyah dari seseorang terhadap orang lain, melainkan lebih dari itu. Jadi akhlak itu harus kita tanamkan pada diri kita terutama terhadap ayah dan ibu, kalau kepada orang lain saja kita hormat, seharusnya pada orangtua kita harus lebih lagi. Betapa berat tanggungan seorang ayah, terlebih lagi seorang ibu dikala mengandung dan demikian pula kalau sudah datang waktunya melahirkan. Dengan mengerahkan seluruh perhatian, jiwa raga dan tenaga si ibu melahirkan bayinya dengan harap-harap cemas. Berharap agar si bayi yang dilahirkannya sehat dan sempurna keadaannya sebagai manusia sempurna anggota badannya, seperti susunan jasmaninya dan tumbuh dalam keadaan yang wajar baik jasmani maupun rohaninya. Cemas kalau-kalau bayinya tidak normal baik jasmani dan rohaninya atau ada gangguan-ganguan yang tidak diinginkannya. Di samping itu, derita jasmani si ibu menahan dikala melahirkan bayinya tersebut. Setelah bayinya lahir, betapa kasih sayang sang ayah terlebih sang ibu kepada anaknya, seakan-akan segala yang ada pada si mereka adalah untuk anaknya. Si ayah rela membanting tulang kerja siang malam untuk mendapatkan biaya yang hanya untuk demi kelancaran lahirnya bayi itu, jiwa raga dan perhatian, serta kasih sayang semuanya ditumpahkan untuk si bayi itu, agar si bayi selamat sentosa dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang baik. Kata yang mengandung doa dan harapan meluncur dicurahkan untuk si bayi, semoga kelak menjadi manusia yang ideal yang taat terhadap orangtua serta agama.
Beberapa perkara yang harus di perhatikan dan dilaksanakan oleh seorang anak kepada orangtua yakni:
1.      Berbuat Baik kepada Ibu dan Ayah, walaupun keduanya dzalim.
Seorang anak menurut ajaran islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai seorang anak sampai menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya orang tuanya berbuat dzalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas atau mengimbangi ketidakbaikan orang tua kepada anaknya. Allah tidak meridhoinya sehingga orang tua itu meridhoinya. Rasulullah SAW bersabda : “Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridhoan Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim).
2.      Berkata Halus dan Mulia kepada Ibu dan Ayah
Kewajiban anak kepada orang tuanya berbicara menurut ajaran islam harus berbicara sopan, lemah lembut dan mempergunakan kata-kata mulia. Allah SWT berfirman :

وَقَضَى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْا اَلَّا اِيَّاهُ وَبِالْوَلِدَيْنِ اِحْسَانَا اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكَبِرَ اَحَدُهُمَا اَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا اُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذَّلِّ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا {الاسراء: 23-24}

Artinya:
“Dan Tuhan telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain kepada-Nya dan hendaknya kamu berbuat baik kepada ibu bapak kamu dengan seabaik-baiknya. Jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya samapi berumur lanjut dalam pemeliharaan kamu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan dan ucapakan doa:”Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka kedua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra: 23-24).
Dari ayat tersebut, dapat di tarik kesimpulan bahwa sewajarnya seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tua baik berbicara dan yang lain- lain. Dengan cara tidak menyinggung perasaan orang tua dan tidak berkata kasar kepada mereka.
Berbuat baik kepada Ibu dan atau Ayah yang sudah meninggal dunia
Apabila ibu dan ayah masih hidup, si anak berkewajiban berbuat baik, dan itu mudah dilakukan dengan berbagai macam cara, baik yang bersifat moaral, maupun yang bersifat material. Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ayah dan atau ibunya yang sudah tiada. Dalam hal ini agama islam mengajarkan supaya seorang anak :
a.       Mendoakan ayah ibu yang telah tiada itu dan memintakan ampun kepada Allah dari segala dosa orang tua kita. Doa yang sering di amalkan yakni:
اللَّهُمَّ اغْفِرْلىِ وَلِوَالِدَىَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرً
b.      Menepati janji kedua ibu dan atau ayah. Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji kepada seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji tersebut. Umpamanya beliau akan naik haji, yang belum sampai melaksanakannya. Maka kewajiban anaknya untuk menunaikan haji untuk orang tuanya tersebut. Dan hal ini diperbolehkan menurut hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas :

اَنَّ امرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ اِلَى النَّبِى صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمِ فَقَالَتْ : اِنَّ اُمِّى نَذَرْتْ اِنَّ تَحَجَّ فَلَمْ تَحَجَّ حَتىَّ مَا تَتْ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا؟ قَالَ : نَعَمْ , حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوكَانَ عَلَى اُمِّكَ دَيْنٌ اَكَنْتِ قَا ضِيَهُ ؟ اُقْضُوا اللهَ فاللهُ اَحَقَّ بِالْوَفَاءِ
                                        {رواه البخارى}
Artinya:
“Bahwa seorang perempuan dari Juhainah dating kepada Nabi Saw, ia bertanya kepada Rasullah: Bahwasannya ibu saya telah bernazar untuk berhaji, tapi ia tidak haji sampai meninggal dunia. Apakah boleh saya menghajikannya? Jawab Rasullah: ”ya, hajikanlah! Apakah kau tahu, kalau seandainya ibu mempunyai hutang, apakah engkau membayarkannya? Bayarkan (tepatilah) kepada Allah, sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditepati!”
c.       Memuliakan teman-teman kedua orang tua.
Di waktu hidupnya ibu dan ayah, beliau-beliau mempunyai teman-teman akrab.
d.      Bersilaturrahmi kepada orang-orang yang mempunyai hubungan dengan kedua orang tua.
E.     Akhlak kepada Anggota Masyarakat
Akhlak mulia merupakan akhlak yang berlaku dan berlangsung di atas jalur Al-Qur’an dan perbuatan nabi Muhammad SAW dalam sikap dan perbuatan. Seperti yang dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Qalam ayat 4 ”Dan sesungguhnya engkau Muhammad mempunyai akhlak yang mulia”.
Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-norma (agama) di masyarakat terutama di dalam pergaulan sehari-hari baik keluarga rumah tangga, kerabat, tetangga dan lingkungan kemasyarakatan. Terutama dalam masyarakat kita dapat membiasakannya. Tolong-menolong untuk kebaikan dan takwa kepada Allah adalah perintah Allah, yang dapat ditarik hukum wajib kepada setiap kaum muslimin dengan cara yang sesuai dengan keadaan objek orang bersangkutan, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah, ayat 2:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّى وَالتَّقوَى وَلَاتَعَاوَنُوْا عَلَى الِاثْمِ وَالعُدْوَانِ {المائدة:2}

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan”. (QS. Al-Ma’idah : 2)

F.     Akhlak Da’i/Mubaligh/Guru/Hakim
Telah jelas ujian bagi penyebar agama islam yang paling hebat adalah para nabi. Kemudian orang-orang saleh, para Da’i/mubaligh yang mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah dan ikhlas dalam beribadah. Dalam mempersiapkan diri yang telah mengikrarkan untuk berjalan mengikuti manhaj para nabi dalam dakwah, maka para da’i harus membekali diri dengan akhlakul karimah. Sebab Da’i/mubaligh di masyarakat menjadi suri tauladan secara langsung, baik perilaku, sikap, perbuatan maupun perkataannya. Agar dakwah yang disampaikan dapat diterima oleh manusia hendaknya seorang da’i memperhatikan sifat dan akhlak yang ia miliki. Allah dan RasulNya telah menjelaskan sifat-sifat yang hendaknya dimiliki oleh seorang da’i, diantaranya :
1.      Ikhlas.
Hendaknya seorang da’i mengikhlaskan dakwahnya karena Allah semata bukan karena riya’, atau mengharap pujian manusia atau yang lainnya. Selain itu hendaknya juga diniatkan untuk mengharap wajah Allah semata.
2.      Berbekal Bashirah(ilmu)
Berilmu, ini juga tidak kalah pentingnya yang harus dimiliki seorang da’i. Dua hal ini adalah syarat utama yang harus dimiliki seorang da’i sebagaimana firmanNya,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Artinya : “Katakanlah : “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata .(QS. Yusuf:108)
3.      Hati-hati dan Lemah-Lembut dalam Berdakwah
Tidak diragukan lagi lemah –lembut adalah salah satu faktor diterimanya dakwah. Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Allah berfirman :
4.      فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS. Ali ‘Imran: 159)
4.      Mengamalkan Apa yang Didakwahkan
Hendaknya seorang da’i mengamalkan apa yang ia dakwahkan dan menjadi teladan didalamnya. Jangan sampai ia sibuk mendakwahi manusia sedang ia lalai terhadap dirinya sendiri. Allah berfirman,

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

Artinya : “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Al-Baqarah:44)
Sedangkan hakim, hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah dan diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara hukum yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut Syekh Kholil pengikut mazhab Maliki, seoarang hakim harus memenuhi beberap syarat. Yaitu: adil, laki-laki, berakal, seoarang mujtahid, atau muqallid. Dalam memutuskan sebuah perkara seoarang hakim (qadli) tidak boleh dalam keadaan marah, karena bisa saja dia akan memutuskannya tidak sesuai dengan hukum islam, melainkan dia akan mengedepankan emosinya belaka. Rasulullah SAW bersabda : “Hakim-hakim itu ada tiga golongan, dua golongan di neraka dan satu golongan di surga: Orang yang mengetahui yang benar lalu memutus dengannya, maka dia di surga. Orang yang memberikan keputusan kepada orang-orang atas kebodohan, maka dia itu di neraka dan orang yang mengetahui yang benar lalu dia menyeleweng dalam memberi keputusan, maka dia di neraka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Maajah, dan Hakim)
Dalam hadis di atas kita dapat mengambil pengetahuan bahwa hakim (qadli) dibagi menjadi tiga golongan:
1.      Seoarang hakim yang mengerti kebenaran yang diajarkan oleh syari’at islam, dan memutuskan sesuai dengan pengetahuan dan kebenaran tersebut, maka seorang hakim tersebut termasuk orang yang akan selamat dan masuk surga.
2.      Seorang hakim yang telah memnuhi kriteria sebagai hakim, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam sebuah keputusan yang ia hadapi, maka golongan ini termasuk hakim yang tidak edial dan masuk neraka.
3.      Seorang hakim yang tidak memnuhi criteria sebagai hakim dan tidak mengetahui kebenaran islam,  dan dia memutuskan suatu perkara berdasarkan kebodohan tersebut.
G.    Akhlak Pemimpin
Kegiatan seorang pemimpin dalam kaca mata Islam memiliki kode etik yang bisa memelihara kejernihan aturan Ilahi, jauh dari sikap diktator, serakah dan egoisme, sehingga membuat lembaga/organisasi yang dipimpinnya sebagai tempat membentuk masyarakat yang saling mengasihi satu kepada yang lain. Dasarnya adalah hal yang menjadi keyakinan seorang pemimpin muslim itu sendiri, yakni bahwa jabatan itu pada dasarnya adalah milik Allah. Manusia seluruhnya hanya bertugas mengendalikannya. Orang yang bertugas mengendalikan tentu tidak berhak keluar dari aturan dan tujuan pemilik jabatan.
Kalau pemimpin tidak mempunyai keyakinan bahwa jabatan itu adalah amanah dari Allah, maka ia kehilangan posisinya sebagai pengendali jabatan. Karunia itu bisa berpindah dari dirinya kepada orang yang lebih pantas melakukan tugas tersebut dan lebih mampu menjaga amanah jabatan tersebut. Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan tentang akhlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik, beberapa diantaranya :

1.      Beriman dan Beramal Shaleh
2.      Amanah
3.      Niat yang Lurus
4.      Laki-Laki
5.      Tidak Meminta Jabatan
6.      Berpegang pada Hukum Allah dan Tegas
7.      Memutuskan Perkara Dengan Adil
8.      Menasehati rakyat dan Lemah Lembut
9.      Tidak Menerima Hadiah
  

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan :
1.      Akhlak islami adalah perbuatan yang dilakukan yang didasarkan pada Islam.
2.      Al Qur’an dan Al Hadist adalah sumber akhlak Islami yang membahas semua aspek yang ada dalam kehidupan ini.
3.      Sebagai hamba Allah SWT, tugas utama manusia adalah mengabdi (beribadah) kepada Sang Khaliq, mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
4.      Ada beberapa perkara yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang pribadi kita sebagai anak kepada kedua orangtua kita, seperti : berbuat baik kepada orangtua, walaupun keduanya dzalim, berkata halus dan mulia kepada orangtua, mendoakan orangtua yang telah tiada dan memintakan ampun kepada Allah dari segala dosa orang tua kita, bersilaturrahmi kepada orang-orang yang mempunyai hubungan dengan kedua orang tua, dan sebagainya.
5.      Beberapa perkara yang harus di perhatikan dan dilaksanakan oleh seorang anak kepada orangtua, diantaranya adalah : berbuat baik kepada Ibu dan Ayah, walaupun keduanya dzalim, berkata halus dan mulia kepada Ibu dan Ayah, mendengarkan nasehatnya, dan sebagainya.
6.      Setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-norma (agama) di masyarakat terutama di dalam pergaulan sehari-hari baik keluarga rumah tangga, kerabat, tetangga dan lingkungan kemasyarakatan.
7.      Dalam mempersiapkan diri yang telah mengikrarkan untuk berjalan mengikuti manhaj para nabi dalam dakwah, maka para da’i harus membekali diri dengan akhlakul karimah, sebab da’i/mubaligh di masyarakat menjadi suri tauladan secara langsung, baik perilaku, sikap, perbuatan maupun perkataannya.
8.      Menurut Syekh Kholil pengikut mazhab Maliki, seoarang hakim harus memenuhi beberap syarat, yaitu: adil, laki-laki, berakal, seoarang mujtahid, atau muqallid.
9.      Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan tentang pemimpin yang baik, beberapa diantaranya adalah : beriman dan beramal shaleh, amanah, niat yang lurus, laki-laki, meminta jabatan, berpegang pada hukum allah, memutuskan perkara dengan adil, menasehati rakyat, tidak menerima hadiah, tegas, lemah lembut.

B.     Saran
Setelah mengetahui aspek atau unsur-unsur akhlak sebagai status pribadi  yang dimiliki oleh suatu individu, yaitu Sumber dan ciri-ciri akhlak Islami, pribadi sebagai Hamba Allah SWT yang baik, pribadi menjadi seorang anak, sikap yang seharusnya dan semestinya kita lakukan pada orangtua, sikap yang seharusnya kita lakukan sebagai da’i atau mubaligh, bagaimana sikap yang harus dimiliki seorang pemimpin, serta sikap yang harus kita miliki ketika bersinggungan dengan Masyarakat, maka disarankan kepada para pembaca agar akhlak-akhlak atau sikap-sikap kita sebagai pemilik status pribadi tersebut sering diterapkan, agar menjadi suatu kebiasaan, yang merupakan salah satu filosofi dari definisi akhlak itu sendiri, karena tanpa ada pembiasaan, meskipun kita memiliki sifat mulia yang kental dalam diri kita, kita tidak akan mencapai pribadi yang seimbang.






DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar