Rabu, 30 November 2016

MAKALAH KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERDAMPAK TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA


KONVERSI LAHAN PERTANIAN MENGAKIBATKAN MENURUNNYA TENAGA KERJA




Bab I
Pendahuluan

1.      Latar Belakang
Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia maupun Negara agrasis lainya, baik itu dalam bidang perekonomian maupun social budaya. Penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman tanaman, kontribusi dalam mengurangi jumlah masyarakat-masyarakat miskin di pedesaan dan perannya dalam nilai devisa yang dihasilkan dari ekspor. Pertanian merupakan sektor yang masih diharapkan untuk memegang peranan penting dalam perekonomian.[1]
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dunia mulai menunjukan perhatiannya terhadap persoalan di bidang pertanian terutama terhadap tanaman pangan yang selanjutnya dilanjutkan dengan usaha-usaha yang dapat membentuk tanaman pangan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan manusia terutama di bidang konsumsi yang tidak ada batasnya.
Akan tetapi dengan adanya kemajuan teknologi dan arus globalisasi membuat semakin menipisnya masyarakat-masyarakat yang mau terjun di sektor pertanian, alih fungsi lahan juga yang sedang maraknya terjadi juga menjadi faktor yang membuat semakin sedikitnya lahan-lahan pertanian. Lahan yang dulunya menjadi tempat para petani melangsungkan kegiatannya sekarang sudah banyak berubah menjadi perumahan, toko, maupun gedung-gedung yang sangat mewah.
Seiring dengan perjalanan waktu dari hari ke hari, kehidupan manusia akan terus berkembang tidak hanya dari segi perekonomian semata namun juga dalam hal pertambahan penduduk. Semakin lama jumlah penduduk akan terus bertambah apalagi di negara berkembang seperti Indonesia yang belum dapat mengontrol pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai lebih dari 240 juta orang.[2]
Kebutuhan akan pangan dan papan akan bertambah seiring dengan pertambahan penduduk. Permasalahan akan muncul manakala terjadi ketidakseimbangan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan papan. Permasalahan ini muncul karena keterbatasan sumberdaya lahan dimana untuk memenuhi seluruh pangan penduduk diperlukan lahan sawah yang luas dan untuk kebutuhan papan juga dibutuhkan lahan yang tidak sedikit. Persaingan penggunaan lahan pada akhirnya akan menggeser ketersediaanya untuk pertanian karena kebutuhan untuk tempat tinggal lebih penting dan tidak dapat dihindari lagi permintaan lahan pertanian akan semakin banyak.
Lahan dapat bermakna bermacam-macam tergantung pada sudut pandang dan kepentingan terhadap lahan. Bagi petani lahan adalah tempat bercocok tanam dan sumber kehidupan, sedangkan bagi penduduk perkotaan lahan adalah ruang untuk mendirikan bangunan seperti rumah, toko dan lain sebagainya.
 Secara spesifik lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik ketersediaan atau luasnya relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses artifisial (reklamasi) sangat kecil. Selain itu kesesuaian lahan dalam menampung kegiatan masyarakat juga cenderung bersifat spesifik karena lahan memiliki perbedaan sifat fisik seperti jenis batuan, kandungan mineral, topografi dan lain sebagainya.
Permintaan lahan dipengaruhi oleh dua jenis permintaan yaitu direct demand (permintaan langsung) dan derived demand (pendorong permintaan). Dalam direct demand, lahan berfungsi sebagai barang konsumsi atau untuk pemukiman dan secara langsung memberikan utilitas. Melalui derived demand, peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan lainya.


2.      Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian konversi lahan?
2.      Apa faktor penyebab adanya konversi lahan ?
3.      Apa dampak konversi lahan terhadap tenaga kerja pertanian dan perekonomian indonesia?
4.      Bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi berkurangnya tenaga kerja pada sektor pertanian?
5.      Bagaimana contoh konversi lahan pertanian?

3.      Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun bertujuan untuk mengetahui bagaimana system dan dampak terhadap tenaga kerja ( petani ) serta perekonomian indonesia dari kegiatan konversi lahan atau alih daya guna lahan pertanian yang di alih fungsikan sesuai keperluan, yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah.


Bab II
Pembahasan


A.    Pengertian konversi Lahan secara umum
Utomo dkk (1992) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com (2012) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Menurut Kustiawan (1997) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com, konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasinya lahan secara umum menyangkut trnsformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu pengunaan ke pengunaan lainnya.
Menurut Agus (2004) konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh manusia (anthropogenic), bukan suatu proses alami. Kita ketahui bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya konversi lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah system produksi pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif.
Menurut Irawan (2005) Konnversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan non pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : a) keterbatasan sumberdaya lahan, b) pertumbuhan penduduk, dan c) pertumbuhan ekonomi.
Sihaloho (2004) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com, membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:
1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
2. Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
3 Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.
6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk ; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.[3]
Berdasarkan beberapa pendapat dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konversi lahan adalah berubahnya pengunaan lahan dari pengunaan semula atau beralihnya daya guna lahan untuk keperluan lainya, misalnya dari lahan pertanian dikonversikan menjadi permukiman, dari hutan dikonversikan menjadi lahan pertanian, perkebunan atau yang lainnya.





B.     Pengertian alih guna lahan ( konversi ) sektor pertanian.
Alih fungsi lahan atau konversi lahan pertanian merupakan kegiatan diubahnya lahan yang semula merupakan lahan yang digunakan untuk kegiatan bertani seperti menanam padi dan lain-lain menjadi lahan untuk keperluan lainnya. jadi Alih fungsi lahan adalah dirubahnya fungsi lahan yang telah di rencanakan atau sudah digunakan untuk pertanian baik itu sebagian maupun seluruh kawasan di alih fungsikan ke sektor pembangunan dan lain-lain.[4]
Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai berubahnya guna lahan awal yang telah dialih fungsikan ke guna lahan lain yang telah di rencanakan oleh pihak-pihak tertentu yang bersangkutan dengan pengalih fungsian lahan tersebut guna kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan lebih.
Alih fungsi lahan cenderung menjadi masalah (bersifat negatif) di dalam sektor pertanian, akan tetapi masih banyak lahan pertanian yang di alih fungsikan karena tekanan ekonomi pada masa-masa krisis ekonomi atau rendahnya hasil jual di bidang pertanian yang menyebabkan banyak petani yang menjual aset lahannya yang berupa perkebunan atau persawahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang secara tidak langsung menyebabkan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian dan makin meningkatkan penguasaan-penguasaan lahan pada pihak- pihak yang memiliki modal tinggi atau masyarakat tingkat atas ( high class).
Sedangkan Bagi para petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting karena dari lahan mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusaha tani, maka status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting yang berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang akan diusahakan dan berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usaha tani yang diusahakan.
Pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi Secara keseluruhan.
Di negara-negara berkembang konversi lahan umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor yang lebih bersifat industrial. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya merangasang terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan kompleks perumahan.
Konversi lahan pertanian ke nonpertanian bukan semata-mata sebagai fenomena fisik yang berpengaruh terhadap berkurangnya luas lahan pertanian, melainkan sebuah fenomena yang bersifat dinamis mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakat secara lebih luas, tidak hanya berkaitan dengana aspek ekonomi, juga terkait dengan perubahan sosial dan budaya masyarakat.

C.     Faktor-faktor penyebab konversi lahan
Kebutuhan akan lahan yang sangat besar mengakibatkan banyak terjadinya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun kenyetaannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di lahan pertanian yang produktif. Faktor penyebab konversi lahan ini dapat dibagi menjadi faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsestensi impementasi tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.
Berdasarkan kenyataan yang berkembang Berdasarkan kenyataan yang berkembang di masyarakat, pola konversi lahan sawah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe yaitu:
1.      secara bertahap (gradual) adalah terjadi secara sporadis/terpencar yang dilakukan oleh perorangan..
2.      secara seketika (instant) bersifat massive, yaitu terjadi dalam satu hamparan luas dan terkonsentrasi yang dilakukan oleh proyek pembangunan baik oleh pihak swasta maupun pemerintah.
 a. Faktor penyebab konversi lahan pada tipe bertahap ada dua yaitu sebagai berikut.
1) Lahan sawah dialihfungsikan/dikonversi karena fungsi sawah sudah tidak optimal, misalnya karena telah terjadi degradasi mutu air irigasi dan degradasi mutu tanah sehingga usaha tani tidak dapat berkembang dengan baik.
2) Alih fungsi oleh pemiliknya karena adanya desakan untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan keperluan tempat usaha untuk meningkatkan pendapatan padahal dari segi fungsinya lahan lahan tersebut masih optimal untuk usaha tani.
Pada tipe seketika dan massive, konversi terjadi biasanya diawali oleh alih penguasaan kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk non-pertanian terutama untuk lokasi perumahan. Alih fungsi melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang lebih luas dan terkonsentrasi pada satu wilayah yang berdekatan dan pada umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi sehingga lebih banyak terjadi di daerah perkotaan atau pinggiran kota
b. Faktor yang berperan penting yang menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non pertanian yaitu sebagai berikut.
1) Perkembangan standar tuntutan hidup. Hal ini berhubungan dengan nilai land rent yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup petani.
2) Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah.
3) Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya lahan sawah yang semakin mahal dan cenderung memperkuat proses konversi lahan.
4 ). Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada penggunaan lahan yang memiliki tingkat pertanian yang terus meningkat akan mengakibatkan proses ekstenfikasi yang lebih dominan, Proses ekstenfikasi dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi lahan.
5) Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap meningkatnya aksesibilitas lokal akan lebih mendorong perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian.
6) Resiko dan ketidakpastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko ketidakpastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungan. Dengan demikian penggunaan lahan yang mempunyai resiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversi ke penggunaan lain yang resikonya lebih rendah.
Menurut Lestari (2005) proses konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian yaitu sebagai berikut.
1) Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2) Faktor internal merupakan faktor yang lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3) Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.[5]

D.    Dampak konversi  lahan terhadap tenaga kerja ( petani ) serta perekonomian Indonesia.
1.      Dampak negative.
Dampak konversi lahan pertanian menyangkut berbagai dimensi kepentingan yang luas dalam suatu negara yaitu tidak hanya mengancam keberlanjutan swasembada pangan, tetapi juga berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja, pemubaziran investasi irigasi, pemerataan kesejahteraan, kualitas lingkungan hidup dan kemapanan struktur sosial masyarakat. Adapun dampak konversi lahan pertanian adalah sebagai berikut.
a.       Ancaman terhadap penyerapan tenaga kerja.
Konversi lahan pertanian pada hakikatnya mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan meningkatkan angka pengangguran karena hilangnya kesempatan kerja dan tempat bekerja untuk mencari nafkah. Seperti diketahui usaha tani mempunyai kaitan dengan berbagai usaha di bagian hulu dan hilir, maka dengan lahan terkonversi akan hilang kesempatan untuk mendapat pekerjaan.
Kemudian  dengan julukan Negara agraris yang dijunjungnya, tentu saja Indonesia memiliki banyak sekali potensi pertanian atau perkebunan yang bisa dijadikan sumber perekonomian Negara. Akan tetapi, seiring berkembangnya sistem perekonomian serta meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan untuk kepentingan dalam bidang selain pertanian semakin meningkat pula.
Sehingga Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan.  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian per Februari 2013 tercatat 39,96 juta orang.
Angka itu mengalami penurunan dibandingkan jumlah pada Februari 2012 sebesar 41,2 juta orang. "Ada penurunan di (sektor) pertanian," tutur Kepala BPS Suryamin dalam temu pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (6/5).
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada Februari 2011 masih tercatat 42,48 juta orang. Namun, pencapaian Februari tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan jumlah per Agustus 2012 sebesar 38,88 juta orang.[6]
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Wynandin Imawan menyatakan penurunan tenaga kerja di sektor pertanian tak lepas dari maraknya konversi lahan pertanian di daerah produktif.  Khusus untuk Pulau Jawa, daerah-daerah produktif meliputi pantai utara Jawa maupun pantai selatan Jawa
b.      Ancaman terhadap keberlangsungan swasembada pangan.
Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. Berkurangnya produksi pangan akibat konversi lahan pertanian adalah bersifat permanen, karena proses konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian sifatnya tidak dapat balik (irreversible) yaitu sekali lahan pertanian tersebut berubah fungsi maka lahan tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagai sawah.
c.       Ancaman terhadap kualitas lingkungan.
Lahan pertanian tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk budidaya padi tetapi dapat menjadi lahan yang efektif untuk menampung kelebihan air limpasan, pengendali banjir dan pelestarian lingkungan. Apabila sehamparan lahan sawah beralih fungsi untuk pembangunan kawasan perumahan, hotel atau industri maka dengan sendirinya lahan disekitarnya akan terkena pengaruh dari konversi tersebut. Lahan untuk menampung kelebihan air akan semakin berkurang sehingga bencana seperti banjir akan semakin sering terjadi. Selain itu harga lahan tersebut pada umumnya akan meningkat dan apabila pemiliknya tetap untuk digunakan sebagai usaha tani maka dalam jangka panjang kualitas lingkungan ekologinya akan menurun sehingga produktifitas juga menurun.
d.      Berkurangnya ekosistem sawah
Terutama di jalur pantai utara faktanya seperti di  Pulau Jawa, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, dan tidak menunjukkan dampak positif.
e.       Berkurangnya Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.
f.        Harga pangan semakin mahal
Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika kemudian harga-harga pangan tersebut menjadi mahal.
g.      Tingginya angka urbanisasi
Sebagian besar kawasan pertanian terletak di daerah pedesaan. Sehingga ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal bisa jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena persaingan semakin ketat.
h.      Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai.
Untuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah menganggarkan biaya untuk membangun sarana dan prasarana pertanian. Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek berbagai jenis irigasi dari pemerintah, mulai dari membangun bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian. Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana dan prasarana tersebut menjadi tidak terpakai lagi.[7]
Tingkat kesejahteraan (welfare) merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala social besar dan kecil misalnya keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan yang dimiliki setiap orang bersifat relatif tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri.
Menetapkan kesejahteraan serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan permasalahan kesejahteraan bukan hanya menyangkut permasalahan perbidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakuakan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera secara umum dan spesifik.
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rata-rata per kapita per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumah tangga dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menurun sehingga tingkat kesejahteraan juga akan menurun. Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga juga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga tersebut. Semakin besar pendapatan seseorang maka kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan juga akan meningkat maka
2.      Dampak positif
a. Banyaknya masyarakat tertentu yang mengalami kemajuan ekonomi.
b. Banyak warga yang terserap menajadi pegawai.
c. Tersedianya prasana social seperti, bank, mini market, SPBU dan lain-lain.
d. Eksistensi kemajuan daerah dibidang social.

E.     Upaya pemerintah dalam mengatasi dampak negative dari konversi lahan pertanian.
Sampai sekarang data akurat tentang besaran konversi lahan sawah sulit diperoleh. Hal ini terkait dengan lemahnya sistem pemantauan dan pendataan yang berkenaan dengan konversi lahan sawah. Jangankan untuk konversi lahan sawah yang dilakukan secara individual oleh pemilik lahan (dan secara spasial terserak sampai ke berbagai pelosok wilayah), untuk konversi lahan sawah yang “resmi” pun (misalnya terkait dengan perluasan kawasan industri, perumahan, dan pembangunan prasarana perhubungan) ternyata datanya tidak terkompilasi dengan baik.
Menurut “data yang disepakati berbagai pihak”, rata-rata lahan sawah yang terkonversi kepenggunaan lain dalam beberapa tahun terakhir ini sekitar 110 ribu hektare per tahun.Ini mencakup konversi ke penggunaan non-pertanian maupun ke penggunaan lahan untuk usaha tani nonsawah.
 Di Pulau Jawa (wilayah di mana lahan sawah beririgasi teknis dan semi teknis yang sangat produktif berlokasi) sebagian besar konversi adalah ke penggunaan non-pertanian (58,7% menjadi perumahan, 21,8%n menjadi kawasan industri, perkantoran, pertokoan, dan sebagainya). Di luar Pulau Jawa, proporsi lahan sawah yang beralih fungsi menjadi perumahan adalah sekitar 16,1%, sedangkan yang beralih fungsi menjadi lahan pertanian nonsawah sekitar 49% (Depertemen PU 2008). Jika kita tidak mengubah paradigma dalam pengendalian konversi lahan sawah (business as usual), sekitar 42% lahan sawah akan terkonversi dalam rencana tata ruang. Di Pulau Jawa dan Bali (yang notabene lahan sawahnya sangat subur dan semakin menyusut ini) lahan sawah yang akan terkonversi mencapai 49%.
Untuk melindungi lahan pertanian dari penggunaan non-pertanian, pemerintah memiliki dasar hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang berlaku mulai tanggal 14 Oktober 2009. Pasal 3 UU 41/2009 menyatakan bahwa UU ini dibuat dengan tujuan:
a)      melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan.
b)      menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan.
c)      mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.
d)     melindungi kepemilikan lahan pertanian panganmilik petani.
e)      meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat.
f)       meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani.
g)      meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak.
h)      mempertahankan keseimbangan ekologis.
i)         mewujudkan revitalisasi pertanian. Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan penetapan :
·         Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan
·          Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan
·         Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan merupakan bagian dari tata ruang kabupaten. Dengan demikian, setiap kabupaten yang sedang menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) harus menetapkan kawasan pertanian di kawasan perdesaan pangan berkelanjutan di dalam wilayah masing-masing (Pasal 19).[8]
Setiap kabupaten/kota juga harus menetapkan lahan pertanian pangan Berbagai peraturan telah dibuat untuk mencegah konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Walaupun demikian, konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian terus berlangsung seiring meningkatnya peran sektor non-pertanian dalam perekonomian nasional. Pembangunan tol lintas Jawa sangat potensial mengurangi luas lahan pertanian, baik yang langsung untuk penggunaan jalan tol maupun konversi ke pemukiman di sepanjang tol.
Pemerintah kabupaten/kota bisa memanfaatkan peraturan yang ada untuk melindungi lahan pertanian jika ada kemauan politik. Di samping itu, berbagai peraturan yang telah dibuat untuk melindungi lahan pertanian agar tidak dikonversi ternyata kurang efektif karena tidak ada penegakan hukum. Masalah yang timbul dengan diberlakukannya UU 41/2009 antara lain tidak adanya penggantian lahan pertanian yang digunakan untuk jalan tol.
Cadangan lahan untuk pertanian pangan tidak bisa lestari jika pemilik lahan mengubah penggunaannya menjadi non-pertanian. Peraturan terbaru tentang PLP2B yang memberi sanksi kepada pejabat yang memberi rekomendasi konversi lahan dinilai merugikan pejabat di daerah karena peraturan lainnya tidak konsisten dijalankan. Di samping tidak ada insentif bagi daerah yang mempertahankan wilayahnya sebagai produsen pertanian, khususnya pangan, karena penerimaan asli daerah (PAD) lebih menguntungkan jika wilayahnya untuk usaha nonpertanian. Kebijakan pemerintah yang tetap menetapkan Pulau Jawa sebagai pertumbuhan ekonomi berbasis industri terus menekan lahan pertanian. Sektor pertanian harus mendapat alokasi khusus dalam pembangunan nasional, termasuk alokasi lahan.

F.      Contoh kasus konversi lahan pertanian
Berbagai peraturan telah dibuat untuk mencegah konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Walaupun demikian, konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian terus berlangsung seiring meningkatnya peran sektor non-pertanian dalam perekonomian nasional. Pembangunan tol lintas Jawa sangat potensial mengurangi luas lahan pertanian, baik yang langsung untuk penggunaan jalan tol maupun konversi ke pemukiman di sepanjang tol.
 Pemerintah kabupaten/kota bisa memanfaatkan peraturan yang ada untuk melindungi lahan pertanian jika ada kemauan politik. Di samping itu, berbagai peraturan yang telah dibuat untuk melindungi lahan pertanian agar tidak dikonversi ternyata kurang efektif karena tidak ada penegakan hukum. Masalah yang timbul dengan diberlakukannya UU 41/2009 antara lain tidak adanya penggantian lahan pertanian yang digunakan untuk jalan tol.
Cadangan lahan untuk pertanian pangan tidak bisa lestari jika pemilik lahan mengubah penggunaannya menjadi non-pertanian. Peraturan terbaru tentang PLP2B yang memberi sanksi kepada pejabat yang memberi rekomendasi konversi lahan dinilai merugikan pejabat di daerah karena peraturan lainnya tidak konsisten dijalankan. Di samping tidak ada insentif bagi daerah yang mempertahankan wilayahnya sebagai produsen pertanian, khususnya pangan, karena penerimaan asli daerah (PAD) lebih menguntungkan jika wilayahnya untuk usaha nonpertanian.[9]
Kebijakan pemerintah yang tetap menetapkan Pulau Jawa sebagai pertumbuhan ekonomi berbasis industri terus menekan lahan pertanian. Sektor pertanian harus mendapat alokasi khusus dalam pembangunan nasional, termasuk alokasi lahan.
Sebagai contohnya terjadi dipulau jawa sebagai berikut ;
Jalan raya merupakan salah satu infrastruktur utama dalam pembangunan ekonomi. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, khususnya di Jawa, pemerintah merencanakan membangun Jalan Tol Trans Jawa yang akan mengonversi lahan pertanian seluas 655.400 ha. Panjang jalan tol tersebut dari Cikampek (Jawa Barat) hingga Surabaya (Jawa Timur) adalah 808 km dan sudah dibangun sepanjang 155 km dan diharapkan selesai tahun 2014 dengan dana yang dibutuhkan masih sekitar Rp36 triliun (Antara News 2009). Konversi lahan pertanian ini akan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan perkotaan di pintu-pintu keluar tol tersebut.










Bab III
Penutup


1.     Kesimpulan

Pertanian adalah kegiatan yang paling penting dalam hidup kita sebagai manusia, tanpa adanya kegiatan dalam sektor pertanian maka tidak akan  ada bahan pangan yang nantinya akan kita makan, karena pertanian di posisikan sebagai digunakannya kegiatan manusia untuk memperoleh hasil yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan atau hewan yang pada mulanya dicapai dengan jalan sengaja menyempurnakan segala kemungkinan yang telah di berikan oleh alam guna memngembangbiakan tumbuhan atau hewan tersebut.
Dimana dalam pertanian harus terdapat tiga hal yaitu : Pertama, adanya alam beserta isinya antara lain tanah sebagai tempat kegiatan, dan tumbuhan serta hewan sebagai obyek kegiatan. Kedua, adanya kegiatan manusia dalam menyempurnakan segala suatu yang telah di berikan oleh alam dan atau Yang Maha Kuasa untuk kepentingan/kelangsungan hidup manusia melalui dua golongan yaitu tumbuhan/tanaman dan hewan/ternak serta ikan. Dan ketiga, ada usaha manusia untuk mendapatkan produk/hasil ekonomis yang lebih besar dari pada sebelum adanya kegiatan manusia.
Dalam kehidupan modernisasi dalam pekerjaa, pembangunan dan lain sebagainya memang perlu di adakan namun kita harus dapat menyeimbangkan antara pembangunan dan keseimbangan alam dengan cara tidak melalukan kegiatan alih fungsi lahan yang berlebihan yang akan mengakibatkan pertanian kita akan hancur yang berarti kita membunuh diri kita sendiri, Oleh sebab itu pertanian tidak kalah dari prasarana ekonomi lainnya bagi sumber hidup manusia.

2.     Saran
Berdasarkan pembahasan diatas selayaknya sebagai pemerintah lebih menegaskan lagi peraturan dalam konversi yang berlebihan terhadap tanah pertanian yang dilakukan oleh berbagai pihak, dengan tidak memudahkan pemberian ijin tanpa kesesuaian jumlah lokasi yang dialih fungsikan.





Daftar Pustaka

Wahab, Solichin Abdul. (2012) Analisis Kebijakan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta, Bumi Aksara.
Subarsono. (2012) Analisis Kebijakan Publik: Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Soemarno, 2013. Konversi Lahan agraris indonesia. Malang : Universitas Brawijaya Press
Rotlink (2014). Pertanian. From, id.m.wikipedia.org/wiki/Pertanian. Desember 2014.
Dewa Ayu Desy (2013). Alih fungsi Lahan Pertanian. From, desymoody.blogspot.com/2013/07/alih-fungsi-lahan-pertanian.html?m=1. Desember 2014.
Elva Falasefa (2013). Alih fungsi Lahan_Eva n klp. From, elva-falasefa.blogspot.com/2013/04/alih-fungsi-lahan-eva-n-klp.html?m=1. Desember 2014.















Biodata Penulis


1.      Nama                     : Dewi Lestari
NIM                :11523157
TTL                 : Sawah Bonak, 10 Desember 1997.
Cita-Cita         : Ingin mempunyai karir hebat dibidang keungan syariah dan bisa berkarya dengan menulis buku.



2.      Nama                     : Siska Klandina
NIM                :11523101
TTL                 : Padang Tikar, 31 mei 1995
Cita-Cita         : Awalnya Ingin menjadi dokter namun sekarang percaya takdir akan bergelut dalam bidang keuangan syariah.










[1] Subarsono. (2012) Analisis Kebijakan Publik: Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal.55
[2] Rotlink (2014). Pertanian. From, id.m.wikipedia.org/wiki/Pertanian. Desember 2014.

[3] Opcit. Subarsono 2012
[4] Elva Falasefa (2013). Alih fungsi Lahan_Eva n klp. From, elva-falasefa.blogspot.com/2013/04/alih-fungsi-lahan-eva-n-klp.html?m=1. Desember 2014.

[5] Wahab, Solichin Abdul. (2012) Analisis Kebijakan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta.Bumi  Aksara. Hal 37
[6] Opcit, wahab sollichin abdul. Hal 41
[7] opcit, wahab solichin abdul. Hal 53
[8] Dewa Ayu Desy (2013). Alih fungsi Lahan Pertanian. From, desymoody.blogspot.com/2013/07/alih-fungsi-lahan-pertanian.html?m=1. Desember 2014.

[9] Soemarno, 2013. Konversi Lahan. Malang : Universitas Brawijaya Press. Hal 37